Monday, May 12, 2014

Maaf Sobat Tanpamu Aku Tak Bisa Lanjutkan Cita Cita Kita

Suasana pekuburan ini masih sama, seperti saat aku mengantarmu ke tempat peristirahatan terakhirmu ini, aroma wangi kamboja, rindangnya pohon solobin, dua batu nisanmu, masih seperti dulu dengan setia menemani jasadmu yang kini terbaring disini, hanya cat di batu nisanmu yang sedikit pudar tersengat teriknya matahari musim kemarau tahun kemarin. Sisa hujan tadi malam masih menyisakan udara lembab dan membuat wangi kamboja ini kian menyengat.
Kulihat wanita itu masih duduk terpekur di samping batu nisan suaminya, sudah tidak terlihat lagi matanya yang sembab seperti empat tahun silam ketika dia kehilangan orang yang sangat dicintainya, mungkin sudah kering cadangan airmatanya atau memang sudah saatnya dia bisa menerima kenyataan, setelah selesai terpekur dalam khusyu’ doanya, dengan berhati-hati ia cabuti rumput liar yang mulai tumbuh di tanah bergunduk itu, seakan dia tidak ingin menggangu ketenangan tidur panjang suaminya, memang tidak banyak.. atau bisa jadi tidak mungkin bisa banyak, karena setiap sebulan sekali wanita ini pasti datang untuk sekedar kirim doa dan mencabut rumput-rumput itu, mungkin menurut ia inilah cara terbaiknya untuk menunjukan betapa masih cintanya ia kepada suaminya, cara terbaik ia untuk membalas kebaikan-kebaikan suaminya semasa dulu, atau bisa jadi ia tidak punya cara lain lagi selain dengan cara ini, aku hanya menduga tanpa berani menyimpulkan.
Aku hanya berdiri diam, aku tidak ingin karena kehadiranku jadi mengganggu suasana berkasih-kasihan sepasang makhluk beda dunia ini, akhirnya dia sadar akan kedatanganku.
“Assalamu’alaikum mas…” sapanya ramah.
“Wa’alaikum salam” balasku singkat, entah mengapa ada perasaan bersalah ketika aku berada di hadapanya, seakan peristiwa empat tahun silam kembali terulang.
“Bagaimana kabarnya mas… juga bagaimana kabar anak dan istri sampeyan?” tanyanya lagi.
“Alhamdulillah semua sehat wal ‘afiat” jawabku.
“Silahkan mas kalau mau kangen-kangenan sama mas Didik” katanya sembari menaburkan bunga di atas tanah bergunduk itu. Sungguh lega rasanya mendenagar kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya, setidaknya aku bisa menyimpulkan kalau sekarang dia sudah benar-benar ikhlas merelakan kepergian suaminya.
“Aku pulang dulu mas… monggo dilanjut…” katanya sembari bangkit dan beranjak dari tempatnya.
“Oh… iya mbak monggo hati-hati di jalan” kataku.
Semakin lama suara langkah kaki semakin menghilang, kini tinggal aku dan dia.
“Sobat bagaimana kabarmu?” gumamku dalam hati.
“Ada banyak hal yang ingin kuceritakan kepadamu.. semenjak kepergianmu rombongan kethoprak kita bubar, aku kembali merantau karena aku merasa sudah tidak ada tempat lagi di kampung untukku, sesekali aku pulang untuk menengok keadaan keluargaku, aku kembali lagi ke duniaku yang dulu yaitu dunia proyek, di duniaku yang baru ini aku merasa menemukan kembali hidupku, atau sekedar pelarian akan hasrat ber kethoprak, kamu masih ingat Rustam dan Istrinya… sekarang dia sudah dikaruniai seoraang bayi laki-laki yang gagah, dan kamu tau tidak…? saat istrinya Rustam pentas tari gambyong dulu ternyata dia sedang hamil dan istrinya itu belum tahu kalau sedang mengandung, untung waktu itu setagennya tidak dikencangkan, coba kalau dikencangkan…” aku tersenyum sendiri membayangkan ia juga sedang tersenyum mendengar cerita konyolku ini.
“Kamu masih ingat Wijayanto yang selalu jadi Senopatiku dulu..? dia sekarang ikut istrinya ke Madura dan kemarin sempat berkirim kabar katanya dia sekarang jadi Ustadz, hebat ya…” kataku.
“Kamu ingat Istiono…? kemarin dia masuk rumah sakit karena keracunan kerang, padahal kamu tau sendiri bisa ular sekuat apapun tidak mampu meracuninya, tapi dengan kerang dia masuk rumah sakit” kucoba menceritakan lelucon ini agar dia ikut tersenyum.
“Dan masih banyak lagi cerita tentang teman-teman kita, pokoknya mereka sekarang kembali ke dunianya masing-masing, tidak ada lagi bunyi gamelan, tidak ada lagi bau asap rok*k kretek murahan bercampur aroma bedak hasil patungan di ruang ganti, panggung kita sudah roboh kawan” tak terasa beberapa bulir bening menetes jatuh di atas tanah bergunduk itu.
“Maafkan aku sobat… aku tidak bisa mewujudkan mimpi-mimpi kita tentang kethoprak yang belum tercapai, biarlah impian-impian itu ikut terkubur bersamamu…” aku menyudahi obrolan satu arah kami.

No comments:

Post a Comment